Selamat membaca dan berjelajah di blog saya...

Kamis, 12 Januari 2017

Tugas Makalah Tauhid

Halo teman, kali ini aku mau sharing tugas mata kuliah Tauhid nih. Alhamdulillah makalahku kali ini dapat predikat pujian dari dosen saya. Ternyata usaha memang tidak akan menghianati hasil. hehe. Semoga bermanfaat dan bisa diambil ilmunya. Yuk dibaca siapa tau pengetahuanmu bertambah. Makalah ini saya susun hasil telaah beberapa buku yang saya pinjam di perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

KONSEP TAKDIR DALAM PENINGKATAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen pengampu: Andi Prastowo, S.Pd.I.,M.Pd.I


Disusun oleh:
Semester l / PGMI A
Siti Fatimah (16480002)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016

KONSEP TAKDIR DALAM PENINGKATAN MUTU
SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Disusun oleh: Siti Fatimah
Makalah yang berjudul “Konsep Takdir Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia (SDM)” membahas tentang konsep takdir terutama dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Apa sebenarnya takdir itu? Bagaimana manusia memahami dan menyikapi takdir? Apa makna takdir dan kaitannya dengan peningkatan mutu sumber daya manusia?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, makalah ini bersifat kepustakaan. Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan (Library Research). Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini. Tidak hanya itu, untuk menambah bahan kajian penulisan makalah ini, penulis juga mencari sumber-sumber referensi yang mendukung.
Berdasarkan  studi  kepustakaan  yang dilakukan oleh penulis maka dapat disimpulkan  bahwa yang  dimaksud  dengan takdir adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya. Golongan Jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan dia yang melakukan tetapi Allah sendiri. Golongan Qadariyah mengatakan bahwa manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali.
Takdir Allah itu begitu rinci dan detail (tafshiliy). Takdir Allah selalu ada setiap saat, tempat, dan terus berlanjut. Setiap keadaan manusia adalah takdir yang dibentuk oleh takdir yang lain. Sehingga manusia harus terus menggali potensi yang di miliki dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.



DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
JUDUL MAKALAH......................................................................................... ii
ABSTRAK........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I     PENDAHULUAN
A.    Kata Pengantar.............................................................................. 1
B.     Latar Belakang.............................................................................. 2
C.     Rumusan Masalah......................................................................... 2
D.    Tujuan............................................................................................ 3
E.     Kerangka Teori.............................................................................. 3
BAB II   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takdir........................................................................... 4
B.     Problematika Memahami Takdir..................................................... 5
C.     Makna Takdir Allah..................................................................... 12
D.    Konsep Takdir Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia............ 15
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................... 20
B.     Saran............................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21


BAB I
PENDAHULUAN

A.          KATA  PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Sholawat salam semoga tetap tercurah kepada Nabi  Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di yaumul akhir nanti. Berkat pertolongan dan perlindungan-Nya akhirnya  penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul Konsep Takdir Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia (SDM).
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid . Makalah  ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, diantaranya Bapak Andi Prastowo, S.Pd.I.,M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Tauhid yang telah banyak memberikan pengarahan, serta teman-teman yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi, penyusunan, maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah ini. Terakhir penulis berharap agar makalah ini nantinya akan memberikan manfaat yang akan berguna dalam proses pembelajaran mata kuliah Tauhid, sehingga akan memperluas khasanah keilmuwan kita mengenai konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber daya manusia.

Yogyakarta, November 2016


                                              Penulis


B.           LATAR  BELAKANG
Hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah  bahwa hakikat warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan tidak satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua kejadian yang telah terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah. Begitu pula dengan bencana-bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan-Nya. Hal yang harus kita lakukan adalah mengimani apa yang telah Allah tetapkan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah takdir, konsep takdir dan hubungannya dengan pengembangan sumber daya manusia agar manusia tidak hanya pasrah terhadap garis kehidupan yang sudah ditentukan Allah. Allah sebenarnya memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengubah nasib yang bisa diubah salah satunya seperti hidup miskin menjadi kaya. Selain itu untuk meluruskan pemahaman orang-orang tentang konsep takdir yang sering menimbulkan perdebatan mengenai takdir. Oleh sebab itu, peranan tauhid sangat diperlukan sebagai modal unuk mendapatkan nilai (kualitas) ibadah. Manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, maka Allah memerintahkan manusia untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya.
C.    RUMUSAN   MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan takdir ?
2.      Bagaimana manusia memahami takdir ?
3.      Apa makna takdir Allah ?
4.      Bagaimana konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber daya manusia ?
D.     TUJUAN
1.       Mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan takdir.
2.       Mengetahui bagaimana manusia memahami takdir.
3.       Mengetahui makna takdir Allah.
4.       Mengetahui konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber daya manusia.
E.      KERANGKA TEORI
1.       Pengertian Takdir
Takdir berasal dari bahasa Arab  قَدَرَ - يَقْدِرُyang bermakna hukum, ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran, ketetapan yang sesuai, dan batasan. Jadi “takdir adalah hukum Allah. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya.
2.      Problematika  Memahami  Takdir
Dalam soal qadla dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan. Golongan Jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan dia yang melakukan tetapi Allah sendiri. Golongan Qadariyah mengatakan bahwa manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali.
3.      Makna Takdir Allah
Takdir Allah itu begitu rinci dan detail (tafshiliy). Takdir yang dipahami oleh para ulama sebagai qadla, sebenarnya adalah takdir, karena memiliki arti yang sama yaitu “الحكم “ (hukum). Takdir Allah selalu ada setiap saat, tempat, dan terus berlanjut (لم يزل atau selalu).
4.      Konsep Takdir Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia
Hubungan antara takdir dengan sumber daya manusia yaitu takdir manusia baik umur, ajal, rezeki, dan perbuatannya sangat dipengaruhi oleh banyak hukum atau takdir yang ada di alam semesta. Setiap keadaan manusia adalah takdir yang dibentuk oleh takdir yang lain. Sehingga manusia harus terus menggali potensi yang di miliki dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Takdir
Takdir berasal dari bahasa Arab  قَدَرَ - يَقْدِرُyang memiliki beberapa makna, diantaranya adalah hukum, ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran, ketetapan yang sesuai, dan batasan.[1] Sebagaimana yang difirmankan Allah:
 إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S.Al-Qomar 54:49)
Takdir tidak saja memiliki makna dan dipahami seperti apa yang nampak dalam bahasa “takdir”, akan tetapi juga harus dimaknai dan dipahami dengan cara mengungkap hal-hal yang tersembunyi jauh di dalam bahasa “takdir”, dan juga realitas-realitas yang memiliki keterkaitan erat dengan takdir yang kesemuanya berelasi membangun pengetahuan dan makna takdir.[2]
Takdir menurut istilah adalah suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, menurut ilmu dan kehendak-Nya, baik sesuatu yang telah terjadi maupun sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang.[3] Kata takdir juga bermakna menyerahkan sagala sesuatu kepada Allah, yang akan terjadi maupun yang telah terjadi. Maksudnya, mengembalikan segala sesuatu yang akan terjadi dan yang telah terjadi seluruhnya kepada kehendak dan ketetapan Allah.[4] Jadi “takdir adalah hukum Allah. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya.[5]

B.     Problematika  Memahami  Takdir
Selama ini para ulama memahami takdir sebagai ketetapan Allah yang bersifat azali, akan tetapi disisi lain mereka juga mengakui adanya takdir pada saat manusia diciptakan di dalam kandungan (berkaitan dengan umur, rizki, ajal, bahagia, susah bagi manusia), yang mengandung arti baru dan bukan azali, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pemahaman yang pertama.[6] Takdir juga dibagi menjadi dua hal yang saling berlawanan (binary opposition), yaitu takdir tetap dan takdir berubah.
1)      Takdir tetap
a.       Takdir hatami (definit atau pasti), yaitu takdir yang tidak bisa berubah.
b.      Takdir mubram, yaitu takdir yang telah ditentukan Allah Swt secara mendasar bagi setiap makhluk.
c.       Takdir musayyar, yaitu ketetapan Allah pada manusia dan makhluk lainnya yang manusia dan makhluk lain itu tidak memiliki kebebasan untuk menolak atau merubahnya.[7]
2)      Takdir berubah
a.       Takdir ghairu hatami (non definit atau tidak  pasti), yaitu takdir yang masih bisa berubah.
b.      Takdir ghairu mubram atau mu’allaq, yaitu takdir yang pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh usaha manusia.
c.       Takdir mukhayyar, yaitu ketetapan Allah pada manusia yang manusia bebas untuk memilihnya.[8]
Hal ini mengandaikan adanya sesuatu di dunia ini yang tidak bisa berubah di satu sisi, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang bisa berubah. Padahal segala sesuatu yang ada di dunia ini saling pengaruh mempengaruhi dan akan hancur, yang ini berarti segala sesuatu itu bisa berubah dan akan selalu berubah hingga sampai pada kehancurannya.[9]
Di samping itu, takdir Allah juga dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti azali, tsanawi atau hauli, ‘umri, yaumi, yang kalau hal ini ada, maka mestinya juga ada takdir syahri (bulanan), usbu’i (mingguan), sa’ati (per jam), dan daqiqi (per detik), dan juga ilmi, kitabi atau kitabah, musyiah dan halqi.[10] Semua takdir Allah juga dianggap dan dipahami sebagai rahasia Allah. Rahasia bagi Allah atau rahasia bagi makhluk Allah yang didalamnya termasuk manusia? Kalau rahasia bagi Allah, maka hal ini tidak mungkin, karena Allah memiliki sifat “alim”, sehingga tidak satupun sesuatu atau peristiwa yang tidak diketahui oleh Allah, yang hal ini juga diakui oleh para ulama. Kalau rahasia bagi manusia, dan manusia tidak bisa dan tidak boleh menyingkap rahasia tersebut, maka hal ini bertentangan dengan kehendak Allah yang memerintahkan manusia untuk memperhatika, berfikir dan bernalar tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.[11]
Banyak sekali perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan, mengamati, dan berfikir tentang alam semesta. Diantaranya yaitu :
a)      Surah Al-Ankabut ayat 19-20
أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ  (١٩) قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)
Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Al-Ankabut 29:19-20)
b)      Surah Az-Zariyat ayat 21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Artinya: “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q.S. Az-Zariyat 51:21)
c)      Surah Al-An’am ayat 50
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (Q.S. Al-An’am 6:50)
d)     Surah Al-Mu’minun ayat 80
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Q.S. Al-Mu’minun 23:80)
      Pada realitasnya, pada sejarah tertentu, “sesuatu” menjadi rahasia bagi manusia, tetapi pada sejarah yang lain tidak lagi menjadi rahasia bagi manusia. Hal itu karena manusia sudah mampu menyingkap dan memahaminya. Tuhan telah menetapkan hukum alam (sunnatullah) pada semua makhluk tanpa terkecuali. Jadi segala yang ada di alam ini diciptakan sesuai dengan kodrat dan sifat dasarnya, sementara pada saat yang sama ketentuan ini berlaku secara universal.[12] Sebagai contoh yaitu ruang angkasa, matahari, bintang, unsur-unsur kimia, dan ciri-ciri genetika yang dulu rahasa bagi manusia, berkat kemajuan sains dan teknologi yang dikembangkan manusia, sekarang sudah tidak lagi menjadi rahasia lagi. Semua ini merupakan bagian dari sekian banyak takdir Allah di alam semesta.[13]
      Demikian juga dengan manusia, ia diciptakan dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya yang tidak diberikannya kepada makhluklain. Selain itu manusia menurut Abduh mempunyai dua kodrat yang sangatmulia dan penting sekali yaitu: (1) berfikir, dan (2) memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Berikut ini penjelasannya:[14]
Saya ingin memberikan pengertian yang lebih dekat untuk menjangkau yang jauh yaitu bahwa di antara rahasia kejadian alam raya adalah beranekaragamnya makhluk yang diciptakan-Nya. Begitulah keadaan masing-masing berbeda satu sama lainnya. … Diantara kejadian makhluk yang macam-macam itu adalah manusia itu sendiri. Ciri yang menyebabkannya berbeda dari yang lainnya karena ia berfikir (homo-sapiens) dan mempunyai kebebasan (free-well) dalam memilih perbuatannya menurut petunjuk pikirannya. Begitulah wujud yang diberikan Tuhan kepada manusia disertai dengan ciri-ciri yang khusus baginya.
Dengan demikian manusia selain mempunyai daya berfikir juga mempunyai kebebasan menentukan langkah dan usahanya. Keduannya ini merupakan sifat dasar yang senantiasa ada pada manusia karena manusia menurut hukum alam atau sunnatullah mempunyai kebebasan dalam melakukan suatu apapun.[15] Persoalan lain yang berkaitan dengan pemahaman takdir Allah adalah perbuatan manusia dan perbedaan antara qadla (bersifat ijmali dan sebagai asas) dan qadar (bersifat tafshili atau juz’i dari qadla an sebagai bina’).[16] Dalam soal qadla dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan yaitu aliran Jabariyah (determinis) dan aliran Qadariyah (indeterminisme).[17]
Tokoh aliran Jabariyah ialah Jahm bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang melakukan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan refleksi atau gerak lain yang semacam atau perbuatan-perbuatan yang kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti berbicara, berjalan dan sebagainya. Manusia sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan sama sekali. Manusia tidak lain bagaikan bulu ditiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, maka hanya dalam lahirnya saja sebagaimana kalau batu jatuh, motor berjalan, dan sebagainya. Dengan demikian, aliran Jabariyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih rendah dari binatang, bahkan sama dengan tumbu-tumbuhan.[18]
Alasan-alasan  aliran tersebut ialah:
1.      Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk pada kehendak Tuhan.
2.      Tuhan yang menjadikan kamu sekalian dan apa-apa yang kamu perbuat.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (Q.S. As-Saffat 37:96)
3.      Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu.
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya: Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (Q.S. Az-Zumar 39:62)
4.      Tuhan mengunci-mati hati dan telinga mereka (orang-orang kafir)
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (Q.S. Al-Baqarah 2:7)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut bisa ditakwilkan[19], sehingga tidak perlu meninggalkan ayat-ayat lain yang berlawanan dengan ayat-ayat diatas.[20] Kalau semua perbuatan manusia sudah diciptakan oleh Allah sebagaimana pendapat golongan Jabariyah, maka hal ini berarti bahwa perbuatan manusia sejak masih di dalam kandungan sampai ia meninggal sudah diciptakan oleh Allah, dan hal ini juga menafikan keberadaan manusia yang berada dalam pengaruh ruang dan waktu.[21] Pendapat golongan Jabariyah juga dibantah oleh Abduh. Bagi Abduh, adalah sesuatu yang tidak logis kalau manusia menyatakan dirinya telah terikat oleh sesuatu hal. Pada kenyataannya manusia dapat melakukan apa saja yang disukainya, jadi ia senantiasa bebas.[22]
Golongan yang kedua yaitu golongan Qadariyah. Mereka berpendapat bahwa manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali.[23] Manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan oleh manusia daripada dikatakan diciptakan oleh Tuhan, karena adanya alasan akal pikiran dan alasan-alasan syara’. Alasan akal pikiran yaitu kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sebagaimana dikatakan golongan Jabariyah, maka apa perlunya taklif (perintah) kepada manusia.[24]
Alasan-alasan syara’ yaitu:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d 13:11)
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (Q.S. An-Nisa’ 4:123)
Masih ada ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk. Ayat tersebut lebih tegas menetapkan adanya perbuatan manusia, dan ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bukan orang lain. Selain itu ada ayat lain yang menegur orang-orang kafir karena mereka tidak mau iman, sedang mereka sebenarnya bisa kalau mau, antara lain:[25]
فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ
Artinya: “Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” (Q.S. Al-Muddassir 74:49)
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya: “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Q.S. Ar-Rum 30:29)

Lebih jelas lagi ayat-ayat mempertalikan kemauan/kehendak kepada manusia, seperti:[26]
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Q.S. Al-Kahfi 18:29)
Kalau manusia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya sebagaimana golongan Qadariyah, hal ini terkesan terbatas pada saat manusia sudah dewasa (aqil, baligh) yang sudah mampu dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Bagaimana halnya dengan anak kecil atau masih dalam kandungan sekalipun, apakah ia tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya? Bahkan di dalam realitasnya banyak anak kecil yang berbuat baik, dan banyak pula yang berbuat jahat, yang semua ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan.[27]

C.    Makna Takdir Allah
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Allah dan terkait dengan takdir-Nya. Seperti firman Allah:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Artinya: “Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.S.Al-Furqan 25:2)
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Q.S.Al-Qamar 54:49)
Segala sesuatu di alam semesta yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Allah tidaklah berdiri sendiri-sendiri, namun semuanya ada dalam bentuk “bagunan besar” alam semesta yang dalam istilah Marx disebut “super struktur”. Setiap bangunan yang membangun bangunan besar alam semesta ini dibangun oleh unsur-unsur yang membangunnya, begitu seterusnya sampai pada unsur-nsur terkecil yang begitu banyak dan tidak terhitung, yang kesemuannya berelasi dan berjalin menjadi satu membangun bangunan besar alam semesta. Ini berarti bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling berpengaruh satu sama yang lainnya.[28] Pengetahuan kita tentang peristiwa-peristiwa yang biasa terjadi dapat dijadikan perumpamaan yang lebih dekat. Seorang penjahat mengetahui secara yakin bahwa kejahatan yang dilakukannya dengan ikhtiarnya sendiri terhadap Rajanya menyebabkan tidak mustahil bisa dijatuhi hukuman.[29] Sehingga dapat disimpulkan perbuatan jahat yang ia lakukan berpengaruh terhadap hidupnya karena ia mendapatkan akibat dari perbuatannya.
Setiap unsur di alam semesta ini tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan membentuk bangunan unsur yang lain, yang berarti membentuk hukum yang lain pula.[30] Masing- masing unsur tersebut memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Contohnya yaitu:
a.       Unsur Hidrogen (H) memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri, unsur Oksigen (O) juga memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan Hidrogen. Jika kedua unsur tersebut saling bergabung menjadi satu dimana jumlah unsur H ada dua sedangkan O satu, maka 2H+O menjadi H2O (air). H2O bukanlah H atau O tetapi gabungan dari keduanya.
b.      Jika satu Carbon (O) dan dua Oksigen (O2) bergabung menjadi satu yaitu C+2O, maka menjadi CO2 (udara). CO2 bukanlah C atau O tetapi gabungan dari keduanya.[31]
Dengan demikian takdir ibarat bangunan yang dibangun oleh unsur-unsur yang saling berelasi membentuk takdir. Takdir akan selalu berubah selama setiap unsur terus saling berpengaruh. Ini berarti bahwa didalam takdir ada causalitas dan proses, dan bahkan setiap proses itu sendiri adalah hukum atau takdir. Karena begitu banyaknya hukum atau takdir Allah, maka takdir dianggap sebagai rahasia Allah yang tidak bisa diketahui oleh manusia, dan bahkan takdir Allah itu hanya bisa diketahui oleh manusia setelah mereka masuk surga.[32]
Disamping itu Abduh juga menyebut faktor lain yang menjadi penghalang, yaitu hukum alam. Contoh yang diambilnya adalah gejala-gejala alam yang sering tidak mampu dikendalikan oleh manusia semisal badai yang dahsyat atau petir yang ganas. Akan tetapi sungguhpun merupakan kendala, hal itu sebenarnya bersifat sementara. Artinya kalau manusia mempunyai ilmu pengetahuan maka gejala-gejala alam dapat ditakhlukkan dan dengan demikian penghalang dari unsur alam dapat dikurangi. Demikian seterusnya jika manusia makin menguasai sains, otomatis akan memperbesar kemampuannya dalam menentukan langkah dan usaha sesuai yang dikehendaki.[33]
Tidak semua takdir atau hukum Allah tidak bisa diketahui oleh manusia. Akan tetapi banyak takdir Allah yang bisa diketahui oleh manusia melalui berbagai penelitian dan penemuan-penemuan ilmiah tentang alam semesta, baik dalam fisika, kimia, biologi, astronomi, dan lainnya, yang ternyata setiap unsur di alam semesta ini kesemuanya berjalan sesuai dengan hukum atau takdir Allah. Sebagai contoh kenapa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah? Dan kenapa setiap benda jatuh ke bumi? Ternyata setelah mengalami penelitian ilmiah diketahui bahwa bumi memiliki daya tarik terhadap benda-benda yang kemudian disebut hukum “gravitasi”.[34]
Takdir Allah terus berlanjut dan selalu ada pada setiap saat dan tempat, sejak mula pertama kali Allah menciptakan hingga hari kiamat, yang dalam bahasa juga disebut “azali”.[35] Takdir Allah (pada saat Allah menciptakan qalam atau pena), oleh sebagian besar ulama dipahami sebagai qadla dan bersifat global (ijmaly) karena belum terealisasi dan belum memiliki pijakannya yaitu alam semesta. Qadla baru direalisasikan secara rinci (tafshiliy) ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan disebut “takdir”. Namun, secara jelas yang dikehendaki Allah di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud adalah takdir dan bukan qadla yaitu dengan kata “تب مقا ديركل شيء“. Dalam konteks ini takdir Allah bisa dikatakan dan dipahami sebagai “program besar Allah” yang begitu rinci dan detail yang berupa hukum-hukum bagi setiap unsur. Dengan demikian setiap unsur terkecil di alam semesta ini memiliki hukum atau takdirnya masing-masing.[36]
Dari pemahaman hadits di atas, maka dapat diketahui tiga hal, yaitu:
1.      Takdir Allah itu begitu rinci dan detail (tafshiliy) bukan global (ijmaliy), dan melekat pada setiap unsur terkecil di alam semesta.[37]
2.       Takdir yang di dalam hadits tersebut dipahami oleh para ulama sebagai qadla, sebenarnya adalah takdir, dan keduanya tidak berbeda karena memiliki arti yang sama yaitu “الحكم “ (hukum).[38]
3.      Takdir Allah selalu ada pada setiap saat dan setiap tempat, terus berlanjut dan berjalan sejak awal penciptaan sampai hari kiamat (لم يزل atau selalu).[39]

D.    Konsep Takdir Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia
Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindera) yang sehat, mengakui dengan menyaksikan bahwa dirinya sendiri adalah maujud (ada).[40] Manusia adalah bagian dari bangunan besar alam semesta yang dibangun atas sekian banyak unsur terkecil yang saling berelasi membentuk organ-organ, dan organ-organ berelasi membentuk tubuh manusia. Dalam konteks ini, manusia dibangun oleh sekian banyak hukum atau takdir, yaitu unsur-unsur yang mempengaruhi dan membangun tubuhnya. Jika demikian, takdir Allah mengenai umur manusia, rizqi, mati, bahagia, dan susahnya sudah ditetapkan atau ditakdirkan oleh Allah, mestinya tidak dipahami sebagai sesuatu yang sudah pasti dan ada begitu saja, akan tetapi harus dipahami sebagai “sesuatu yang adanya dibangun oleh berbagai macam takdir yang saling berelasi dan mempengaruhi manusia”, membentuk umur manusia, rizqi, mati, bahagia, dan susahnya.[41]
Takdir Allah tentang umur dan mati misalnya, tidak benar bahwa setiap manusia telah ditetapkan umurnya 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan seterusnya, sehingga pada saat manusia mencapai pada umur yang ditetapkan manusia akan mati. Akan tetapi, manusia berada dalam ruang dan waktu, dan berjalan sesuai takdir atau hukum Allah di alam semesta ini. Manusia memang tidak mengetahui berapa umurnya dan kapan akan mati, tetapi manusia bisa mengusahakan agar umurnya menjadi panjang dan tidak cepat mati, dengan cara mengikuti, menyesuaikan, dan menyikapi berbagai hukum atau takdir Allah di alam semesta ini. Manusia yang sehat akan cenderung panjang umur dan tidak cepat mati sedangkan orang yang sakit akan cenderung pendek umur dan cepat mati. Ini adalah hukum atau takdir Allah. Masih banyak hal yang mempengaruhi umur dan mati seperti kecelakaan, sakit, dibunuh, atau sudah tua sehingga organ-organ tubuhnya tidak bisa berfungsi secara baik sehingga menyebabkan mati.[42]
Adapun pembahasan dibalik itu, yakni bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan Ilmu Allah dan Kemauan (Iradat-Nya) dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan ikhtiar manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya.[43] Konsep tentang kebebasan manusia tersebut sebenarnya ada kaitannya dengan konsep keadilan Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat bahwa Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang maha adil, maka menurut Abduh, sifat itu berarti permanen melekat pada Tuhan dan mustahil apabila sewaktu-waktu Allah berbuat tidak adil.[44]
Yang menjadi persoalan adalah bahwa “mati atau ajal” dianggap sebagai takdir Allah, sedangka peristiwa sebelum manusia mati dianggap sebagai bukan takdir. Mati adalah takdir Allah, keadaan sakit sebelum manusia mati juga takdir Allah, dan keadaan sehat sebelum manusia sakit juga takdir Allah. Setiap detik keadaan manusia sebelum mati adalah takdir yang dibangun oleh sekian banyak hukum atau takdir yang lain. Jadi takdir “mati”nya manusia dibangun oleh berbagai macam faktor dan unsur dalam kadar, ukuran, bentuk, dan keadaan yang bermacam-macam yang mempengaruhi manusia. Jika faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhi manusia itu baik, maka ia akan cenderung panjang umur, tetapi jika sebaliknya maka ia akan pendek umurnya dan cepat mati.[45]
Demikian halnya dengan takdir rezeki, bahagia, susahnya manusia dibangun oleh berbagai faktor dan unsur yang semuanya berjalan mengikuti dan sesuai hukum Allah. Doa, silaturahmi, shadaqah, dan berbuat baik merupakan bagian dari sekian banyak unsur yang membangun takdir tentang umur, rezeki, mati, bahagia, susah manusia sehingga hal-hal tersebut bisa mengubah takdir. Doa adalah bagian dari dzikir, dzikir menjadikan hati manusia tenang.[46]
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S.Ar-Ra’d 13:28)
 Jika hati tenang, secara psikis dia juga sehat. Dengan silaturahmi manusia bisa memecahkan berbagai persoalan hidup dan beban yang ada di dalam pikirannya, sehingga kalau manusia tidak banyak pikiran atau stress, ia tidak akan mudah sakit. Disamping itu dengan silaturahmi bisa terjalin relasi-relasi yang dalam konteks bisnis akan banyak mendatangkan rezeki. Shadaqah menjadikan manusia tidak khawatir, tidak mudah susah dan akan cenderung merasa aman dari lingkungannya.[47]
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S.Al-Baqarah 2:262)
 Tema tentang manusia dan kebebasannya juga menjadi salah satu bagian penting dalam sistem teologi Muhammad Abduh. Manusia menurutnya adalah makhluk spesial karena ia dibebani taklif oleh Tuhan. Manusia juga dapat disebut makhluk unik mengingat eksistensinya yang bisa menjadikannya berderajat tertinggi tetapi sekaligus juga memungkinkannya jatuh pada derajat terendah. Semua itu tergantung kearah mana ia memfungsikan daya dan potensinya yang telah diciptakan Tuhan pada dirinya.[48]
Manusia dibangun oleh organ-organ yang begitu banyak mulai dari hati, akal, pendengaran, penglihatan, jantung, paru-paru dan lain-lainnya yang kesemuannya saling berelasi dan mempengaruhi takdir manusia. Disamping itu manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya yang kesemuannya memiliki hukum-hukum sesuai dengan takdir Allah. Saling pengaruh antar unsur yang membangun manusia, baik yang ada di dalam tubuh manusia maupun yang ada di luar tubuh manusia menimbulkan gerak. Gerak-gerak inilah yang menimbukan perbuatan manusia.[49]
Manusia telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan manusia itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang berbahaya, dengan kata lain ada yang baik dan buruk. Mereka sepakat bahwa yang baik itu adalah apa yang lebih kekal faedahnya sekalipun menimbulkan kesakitan dalam melakukannya, dan yang buruk ialah barang yang merusak bagi kepentingan perseorangan maupun kepentingan umum dan bagi siapa saja yang berhubungan dengannya sekalipun besar sekali kelezatannya sekarang.[50]
Tuhan Maha Mengetahui atas apa yang dipilih dan diusahakannya tetapi penglihatan Tuhan tidak dapat mencegah atau merintangi. Oleh karena itu, manakala ia mengusahakan suatu amal kebajikan dan ternyata berhasil maka hal itu semata-mata memang hasil keringatnya dan Tuhan akan membalas yang setimpal. Sebaliknya jika ia berniat melakukan suatu kejahatan dan ternyata tetap ia lakukan maka ia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu kelak.[51] Perilaku atau perbuatan manusia merupakan cerminan dari apa yang ada di dalam hatinya, dan hati merupakan kendali utama bagi perbuatan manusia. Hati manusia mengetahui baik dan buruk.[52] Seperti firman Allah:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S.Asy-Syams 91:8)
Jika kebaikan mendominasi hati manusia maka ia akan berbuat baik, dan jika keburukan mendominasi hatinya maka ia akan berbuat jahat. Dengan demikian, perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Tuhan dalam arti baik dan buruk, detik demi detik, seperti pandangan golongan Jabariyah. Juga bukan diciptakan oleh manusia sendiri dengan segala kemampuan hati dan akalnya, seperti pendapat Qadariyah. Akan tetapi diciptakan dan dibentuk oleh saling pengaruh antar unsur yang membangun manusia, dan oleh lingkungan.[53]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dapat dipahami bahwa “takdir adalah hukum Allah. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya. Takdir Allah memiliki arti yang sama dengan qadla yaitu “hukum” yang bersifat rinci. Ini berarti bahwa takdir Allah bersifat rinci dan detail (tafshiliy) bukan global (ijmaliy), juga tidak bertingkat-tingkat seperti azali, tsanawi atau hauli, ‘umri, yaumi, dan ilmi, kitabi atau kitabah, musyiah dan khalqi, akan tetapi terus berlangsung dan berlanjut setiap saat di setiap tempat atau azali (لم يزل  ). Semua takdir Allah diketahui, ditulis, dikehendaki, dan dicipta oleh Allah dalam bentuk “Program Besar Allah”. Semua hal di alam semesta ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah. Hubungan antara takdir dengan sumber daya manusia yaitu takdir manusia baik umur, ajal, rezeki, susah, bahagia, dan perbuatannya sangat dipengaruhi, ditentukan, dan dibangun oleh begitu banyak hukum atau takdir yang ada di alam semesta, yang setiap sesuatunya mempengaruhi takdir manusia. Setiap keadaan manusia adalah takdir yang dibentuk oleh takdir-takdir yang lain. Sehingga manusia harus terus menggali potensi yang di miliki dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
B.     SARAN
Allah telah menentukkan takdir manusia namun kita tidak boleh pasrah, kita harus terus berusaha melakukan yang terbaik dan memperbanyak doa, dan untuk hasilnya kita serahkan kepada Allah. Agar kita memiliki keimanan yang benar terhadap takdir Allah Swt, kita hendaknya perlu meyakini adanya qadla dan qadar terhadap diri kita dan makhluk-Nya, bertawakal dalam menjalani hidup di dunia ini dengan berikhtiar dan berdoa, bersabar saat tertimpa musibah dan bersyukur apabila diberi kenikmatan, serta berbaik sangka terhadap semua peristiwa yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid Terj Firdaus. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Akademik, Pokja. Tauhid. Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005.
Aziz, Ahmad Amir. Pembaharuan Teologi: Perspektif Modernism Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman . Yogyakarta: Teras, 2009.
Chirzin, Muhammad. Konsep dan Hikmah Akidah Islam. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.
Gullen, Fethullah. Qadar. Jakarta: PT Gramedia, 2011.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam) Cet XII. Jakarta: Pustaka al-Husna, 2001.







[1] Muhammad Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997),  hlm.105
[2] Pokja Akademik, Tauhid  (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm.44
[3] Fethullah Gullen, Qadar (Jakarta: PT Gramedia, 2011), hlm.18
[4] Ibid., hlm.4
[5] Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.48
[6] Ibid., hlm.44
[7] Ibid., hlm.41
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm.44
[10] Berdasarkan waktu terjadinya, takdir dibagi menjadi: 1. Takdir Azali, yang meliputi segala sesuatu sebelum Allah menciptakan bumi dan langit, yaitu takdir Allah setelah menciptakan Qolam. 2. Takdir Tsanawi atau Hauli, yang terkait dengan malam lailatul Qodar, yaitu takdir Allah yang ditetapkan setiap tahun pada malam lailatul Qodar. 3. Takdir ‘Umri, yang meliputi segala yang terkait dengan manusia seperti umur, rizki, bahagia, susah, dan mati, yaitu takdir ketika Allah menciptakan manusia dalam rahim. 4. Takdir Yaumi, yaitu takdir Allah setiap hari yang terkait dengan semua peristiwa. Berdasarkan urutan ketetapannya menjadi 1. Ilmi, yaitu takdir yang terkait dengan ilmu Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. 2. Takdir Kitabi atau Kitabah, yaitu takdir Allah terhadap segala sesuatu yang tertulis di Lauhil Mahfudz. 3. Musyiah, yaitu takdir Allah yang terkait dengan segala sesuatu yang terjadi di langit dan bumi, yang semuanya terjadi atas kehendak-Nya. 4. Halqi, yaitu takdir Allah yang terkait dengan kekuasaan-Nya untuk menciptakan segala sesuatu. (Ibid., hlm.42)
[11] Ibid., hlm.45
[12] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi: Perspektif Modernism Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.47
[13] Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.45
[14] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.47
[15] Ibid.
[16] Pada umumnya, para ulama membedakan antara qadla dan qadar. Qadla sebagai ketetapan Allah sejak zaman azali dan bersifat global atau ijmaliy, sedangkan qadar sebagai realisasi dari ketetapan Allah sesuai kehendaknya dan bersifat rinci (tafshiliy). Qadar mengikuti qadla, qadla berada pada posisi asas atau al asas, sedangkan qadar berada pada posisi bangunannya atau al bina’, tetapi ada pula ulama yang menganggap sama antara qadla dan qadar dan tidak membedakan antara qadla dan qadar. (Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.42)
[17] Dalam sejarah perkembangan Agama dan filsafat Barat, faham aliran Jabariyah dan Qadariyah ini muncul dengan istilah-istilah: Determinis (serba takdir) dan indeterminisme (serba ikhtiar). (Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid  Terj Firdaus AN (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm.93
[18] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Cet.XII (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2001), hlm.174
[19] Ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal dan didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.
[20] Ibid.
[21] Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.45
[22] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.48
[23] Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.93
[24] Ahmad Hanafi, Teologi Islam…,hlm.175
[25] Ibid., hlm.176
[26] Ibid.
[27] Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.45-46
[28] Ibid., hlm.47
[29] Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.97
[30] Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.48
[31] Ibid., hlm.49
[32] Ibid.
[33] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.50
[34] Pokja Akademik, Tauhid…, hlm.50
[35] Azali berasal dari kata ” لم يزل” yang kemudian dihilangkan “لم “ nya menjadi “يزل “, kemudian “ي “nya diganti dengan “أ “ menjadi “أزل “ yang berarti “selalu”. (Ibid.,hlm.51)
[36] Ibid.
[37] Ibid., hlm.52
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.91
[41]Pokja Akademik, Tauhid…, hlm.52-53
[42] Ibid., hlm.53
[43] Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.93
[44] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.48
[45] Pokja Akademik, Tauhid…, hlm.53-54
[46] Ibid., hlm.54
[47] Ibid.
[48] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.46
[49] Pokja Akademik, Tauhid…, hlm.54-55
[50] Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.109
[51] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.51
[52] Pokja Akademik, Tauhid…, hlm.55
[53] Ibid.