KONSEP
TAKDIR DALAM PENINGKATAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas individu
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen pengampu: Andi Prastowo,
S.Pd.I.,M.Pd.I
Disusun
oleh:
Semester l / PGMI A
Siti Fatimah (16480002)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
KONSEP
TAKDIR DALAM PENINGKATAN MUTU
SUMBER
DAYA MANUSIA (SDM)
Disusun
oleh: Siti Fatimah
Makalah
yang berjudul “Konsep Takdir
Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia (SDM)” membahas tentang konsep takdir terutama dalam peningkatan mutu sumber
daya manusia. Apa sebenarnya takdir itu? Bagaimana manusia memahami dan menyikapi
takdir?
Apa makna takdir dan kaitannya dengan peningkatan mutu sumber daya manusia?
Dalam menjawab permasalahan tersebut,
makalah ini bersifat kepustakaan. Data penulisan makalah ini diperoleh dengan
metode studi kepustakaan (Library Research). Metode studi kepustakaan yaitu
suatu metode dengan membaca telaah pustaka buku-buku yang berkaitan dengan
penulisan makalah ini. Tidak hanya itu, untuk menambah bahan kajian penulisan
makalah ini, penulis juga mencari sumber-sumber referensi yang mendukung.
Berdasarkan studi
kepustakaan yang dilakukan oleh penulis maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan takdir adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan yang ada pada
sesuatu yang ditetapkan hukumnya. Golongan Jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan dia yang
melakukan tetapi Allah sendiri. Golongan Qadariyah mengatakan bahwa
manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan ia mempunyai
kebebasan yang mutlak sekali.
Takdir Allah itu begitu rinci dan detail
(tafshiliy). Takdir Allah selalu ada setiap saat, tempat, dan terus berlanjut. Setiap keadaan
manusia adalah takdir yang dibentuk oleh takdir
yang lain. Sehingga manusia
harus terus menggali potensi yang di miliki dengan bekal
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
DAFTAR
ISI
HALAMAN
COVER
JUDUL
MAKALAH......................................................................................... ii
ABSTRAK........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Kata Pengantar.............................................................................. 1
B.
Latar Belakang.............................................................................. 2
C.
Rumusan Masalah......................................................................... 2
D.
Tujuan............................................................................................ 3
E.
Kerangka Teori.............................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takdir........................................................................... 4
B.
Problematika Memahami Takdir..................................................... 5
C.
Makna Takdir Allah..................................................................... 12
D.
Konsep Takdir Dalam Peningkatan Sumber
Daya Manusia............ 15
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................... 20
B.
Saran............................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Sholawat salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di yaumul akhir nanti. Berkat
pertolongan dan perlindungan-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
ini dengan judul ”Konsep Takdir Dalam Peningkatan
Mutu Sumber Daya Manusia (SDM)”.
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid . Makalah ini
tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak,
diantaranya Bapak Andi Prastowo, S.Pd.I.,M.Pd.I selaku dosen pengampu mata
kuliah Tauhid yang
telah banyak memberikan pengarahan, serta teman-teman yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi,
penyusunan, maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis bersedia menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Terakhir penulis berharap agar makalah ini nantinya akan memberikan manfaat
yang akan berguna dalam proses pembelajaran mata kuliah Tauhid, sehingga akan
memperluas khasanah keilmuwan kita mengenai konsep takdir dalam peningkatan
mutu sumber daya manusia.
Yogyakarta,
November 2016
Penulis
B.
LATAR BELAKANG
Hidup ini memang
penuh dengan warna. Dan ingatlah bahwa
hakikat warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah
tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan
tidak satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua kejadian yang telah
terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah. Begitu pula dengan bencana-bencana
yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor,
banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita
adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah. Kematian, kelahiran, rizki, nasib,
jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan-Nya. Hal
yang harus kita lakukan adalah mengimani apa yang telah Allah tetapkan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah takdir, konsep takdir dan hubungannya dengan
pengembangan sumber daya manusia agar manusia tidak hanya
pasrah terhadap garis kehidupan yang sudah ditentukan Allah. Allah sebenarnya memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengubah
nasib yang bisa diubah salah satunya seperti hidup miskin menjadi kaya. Selain
itu untuk meluruskan pemahaman orang-orang
tentang konsep takdir yang sering menimbulkan perdebatan mengenai takdir.
Oleh sebab itu,
peranan tauhid sangat diperlukan sebagai
modal unuk mendapatkan nilai (kualitas) ibadah. Manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, maka Allah memerintahkan manusia untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya.
C. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan takdir ?
2.
Bagaimana manusia memahami takdir ?
3.
Apa makna takdir Allah ?
4.
Bagaimana konsep takdir dalam
peningkatan mutu sumber daya manusia ?
D.
TUJUAN
1.
Mengetahui tentang apa yang dimaksud
dengan takdir.
2.
Mengetahui bagaimana manusia memahami
takdir.
3.
Mengetahui makna takdir Allah.
4.
Mengetahui konsep takdir dalam
peningkatan mutu sumber daya manusia.
E. KERANGKA TEORI
1.
Pengertian Takdir
Takdir
berasal dari bahasa Arab قَدَرَ
- يَقْدِرُyang bermakna hukum, ketetapan, kekuatan, daya,
potensi, ukuran, ketetapan yang sesuai, dan batasan. Jadi “takdir” adalah “hukum Allah”. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi,
ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya.
2.
Problematika Memahami
Takdir
Dalam soal qadla dan qadar kaum muslimin terpecah
menjadi dua golongan. Golongan
Jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan dia yang melakukan tetapi
Allah sendiri. Golongan
Qadariyah mengatakan bahwa manusia itu berkuasa menentukan segala macam
perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali.
3.
Makna Takdir Allah
Takdir
Allah itu begitu rinci dan detail (tafshiliy).
Takdir yang dipahami oleh para ulama sebagai qadla, sebenarnya adalah takdir,
karena memiliki arti yang sama yaitu “الحكم
“ (hukum). Takdir Allah selalu ada setiap saat, tempat, dan terus berlanjut (لم
يزل atau selalu).
4.
Konsep Takdir Dalam Peningkatan Mutu
Sumber Daya Manusia
Hubungan antara takdir dengan sumber daya manusia yaitu takdir manusia baik umur, ajal, rezeki, dan perbuatannya
sangat dipengaruhi oleh banyak hukum atau takdir
yang ada di alam semesta. Setiap keadaan manusia adalah
takdir yang dibentuk oleh takdir yang lain. Sehingga manusia harus terus menggali potensi yang di miliki
dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takdir
Takdir berasal dari bahasa Arab قَدَرَ
- يَقْدِرُyang memiliki beberapa makna, diantaranya adalah
hukum, ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran, ketetapan yang sesuai, dan
batasan.[1] Sebagaimana
yang difirmankan Allah:
إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran.” (Q.S.Al-Qomar 54:49)
Takdir
tidak saja memiliki makna dan dipahami seperti apa yang nampak dalam bahasa
“takdir”, akan tetapi juga harus dimaknai dan dipahami dengan cara mengungkap
hal-hal yang tersembunyi jauh di dalam bahasa “takdir”, dan juga
realitas-realitas yang memiliki keterkaitan erat dengan takdir yang kesemuanya
berelasi membangun pengetahuan dan makna takdir.[2]
Takdir
menurut istilah adalah suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah,
menurut ilmu dan kehendak-Nya, baik sesuatu yang telah terjadi maupun sesuatu
yang akan terjadi dimasa mendatang.[3] Kata
takdir juga bermakna menyerahkan sagala sesuatu kepada Allah, yang akan terjadi
maupun yang telah terjadi. Maksudnya, mengembalikan segala sesuatu yang akan
terjadi dan yang telah terjadi seluruhnya kepada kehendak dan ketetapan Allah.[4] Jadi
“takdir” adalah “hukum Allah”. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi,
ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya.[5]
B. Problematika Memahami
Takdir
Selama ini para ulama memahami takdir sebagai
ketetapan Allah yang bersifat azali, akan tetapi disisi lain mereka juga
mengakui adanya takdir pada saat manusia diciptakan di dalam kandungan
(berkaitan dengan umur, rizki, ajal, bahagia, susah bagi manusia), yang
mengandung arti baru dan bukan azali, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan
pemahaman yang pertama.[6]
Takdir juga dibagi menjadi dua hal yang saling berlawanan (binary opposition), yaitu takdir tetap dan takdir berubah.
1)
Takdir tetap
a.
Takdir hatami (definit atau pasti), yaitu
takdir yang tidak bisa berubah.
b.
Takdir mubram, yaitu takdir yang telah ditentukan Allah Swt secara mendasar
bagi setiap makhluk.
c.
Takdir musayyar, yaitu ketetapan Allah
pada manusia dan makhluk lainnya yang manusia dan makhluk lain itu tidak
memiliki kebebasan untuk menolak atau merubahnya.[7]
2)
Takdir berubah
a.
Takdir ghairu hatami (non definit
atau tidak pasti), yaitu takdir yang
masih bisa berubah.
b.
Takdir ghairu mubram atau mu’allaq, yaitu takdir yang pelaksanaannya sangat dipengaruhi
oleh usaha manusia.
c.
Takdir mukhayyar, yaitu ketetapan Allah
pada manusia yang manusia bebas untuk memilihnya.[8]
Hal ini mengandaikan adanya sesuatu di
dunia ini yang tidak bisa berubah di satu sisi, tetapi di sisi lain ada sesuatu
yang bisa berubah. Padahal segala sesuatu yang ada di dunia ini saling pengaruh
mempengaruhi dan akan hancur, yang ini berarti segala sesuatu itu bisa berubah
dan akan selalu berubah hingga sampai pada kehancurannya.[9]
Di
samping itu, takdir Allah juga dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti azali, tsanawi atau hauli, ‘umri, yaumi, yang kalau hal ini ada, maka mestinya juga
ada takdir syahri (bulanan), usbu’i (mingguan), sa’ati (per jam), dan daqiqi
(per detik), dan juga ilmi, kitabi atau kitabah, musyiah dan halqi.[10]
Semua takdir Allah juga dianggap dan dipahami sebagai rahasia Allah. Rahasia
bagi Allah atau rahasia bagi makhluk Allah yang didalamnya termasuk manusia?
Kalau rahasia bagi Allah, maka hal ini tidak mungkin, karena Allah memiliki
sifat “alim”, sehingga tidak satupun
sesuatu atau peristiwa yang tidak diketahui oleh Allah, yang hal ini juga
diakui oleh para ulama. Kalau rahasia bagi manusia, dan manusia tidak bisa dan
tidak boleh menyingkap rahasia tersebut, maka hal ini bertentangan dengan
kehendak Allah yang memerintahkan manusia untuk memperhatika, berfikir dan
bernalar tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.[11]
Banyak
sekali perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan, mengamati, dan
berfikir tentang alam semesta. Diantaranya yaitu :
a)
Surah Al-Ankabut ayat 19-20
أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ
اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (١٩) قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا
كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الآخِرَةَ إِنَّ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٠)
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya
(kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah:
Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan
(makhluk), kemudian Allah
menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”
(Q.S. Al-Ankabut 29:19-20)
b)
Surah Az-Zariyat ayat 21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا
تُبْصِرُونَ
Artinya: “Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(Q.S. Az-Zariyat 51:21)
c)
Surah Al-An’am ayat 50
قُلْ
لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا
أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka
apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (Q.S. Al-An’am 6:50)
d)
Surah Al-Mu’minun ayat 80
وَهُوَ
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan Dialah yang menghidupkan dan
mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah
kamu tidak memahaminya?” (Q.S. Al-Mu’minun 23:80)
Pada realitasnya, pada sejarah tertentu, “sesuatu” menjadi
rahasia bagi manusia, tetapi pada sejarah yang lain tidak lagi menjadi rahasia
bagi manusia. Hal itu karena manusia sudah mampu menyingkap dan memahaminya.
Tuhan telah menetapkan hukum alam (sunnatullah)
pada semua makhluk tanpa terkecuali. Jadi segala yang ada di alam ini
diciptakan sesuai dengan kodrat dan sifat dasarnya, sementara pada saat yang
sama ketentuan ini berlaku secara universal.[12]
Sebagai contoh yaitu ruang angkasa, matahari, bintang, unsur-unsur kimia, dan
ciri-ciri genetika yang dulu rahasa bagi manusia, berkat kemajuan sains dan
teknologi yang dikembangkan manusia, sekarang sudah tidak lagi menjadi rahasia
lagi. Semua ini merupakan bagian dari sekian banyak takdir Allah di alam
semesta.[13]
Demikian juga dengan manusia, ia diciptakan dengan sifat-sifat
dasar yang khusus baginya yang tidak diberikannya kepada makhluklain. Selain
itu manusia menurut Abduh mempunyai dua kodrat yang sangatmulia dan penting
sekali yaitu: (1) berfikir, dan (2) memilih dan menentukan perbuatannya
sendiri. Berikut ini penjelasannya:[14]
Saya ingin memberikan
pengertian yang lebih dekat untuk menjangkau yang jauh yaitu bahwa di antara
rahasia kejadian alam raya adalah beranekaragamnya makhluk yang diciptakan-Nya.
Begitulah keadaan masing-masing berbeda satu sama lainnya. … Diantara kejadian
makhluk yang macam-macam itu adalah manusia itu sendiri. Ciri yang
menyebabkannya berbeda dari yang lainnya karena ia berfikir (homo-sapiens) dan
mempunyai kebebasan (free-well) dalam memilih perbuatannya menurut petunjuk
pikirannya. Begitulah wujud yang diberikan Tuhan kepada manusia disertai dengan
ciri-ciri yang khusus baginya.
Dengan
demikian manusia selain mempunyai daya berfikir juga mempunyai kebebasan
menentukan langkah dan usahanya. Keduannya ini merupakan sifat dasar yang
senantiasa ada pada manusia karena manusia menurut hukum alam atau sunnatullah mempunyai kebebasan dalam
melakukan suatu apapun.[15]
Persoalan lain yang berkaitan dengan pemahaman takdir Allah adalah perbuatan
manusia dan perbedaan antara qadla
(bersifat ijmali dan sebagai asas) dan qadar (bersifat tafshili
atau juz’i dari qadla an sebagai bina’).[16]
Dalam soal qadla dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan yaitu
aliran Jabariyah (determinis) dan
aliran Qadariyah (indeterminisme).[17]
Tokoh
aliran Jabariyah ialah Jahm bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia bukan dia yang melakukan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan
refleksi atau gerak lain yang semacam atau perbuatan-perbuatan yang
kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti berbicara, berjalan dan
sebagainya. Manusia sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan sama
sekali. Manusia tidak lain bagaikan bulu ditiup angin, tidak mempunyai gerak
sendiri. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, maka hanya dalam lahirnya saja
sebagaimana kalau batu jatuh, motor berjalan, dan sebagainya. Dengan demikian,
aliran Jabariyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih
rendah dari binatang, bahkan sama dengan tumbu-tumbuhan.[18]
Alasan-alasan aliran tersebut ialah:
1. Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi
sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin
tidak tunduk pada kehendak Tuhan.
2. Tuhan yang menjadikan kamu sekalian dan apa-apa yang
kamu perbuat.
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (Q.S. As-Saffat 37:96)
3.
Ayat-ayat yang menurut lahirnya
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu.
اللَّهُ
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu
dan Dia memelihara segala sesuatu” (Q.S. Az-Zumar 39:62)
4.
Tuhan mengunci-mati hati dan telinga
mereka (orang-orang kafir)
خَتَمَ
اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ
غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (Q.S. Al-Baqarah
2:7)
Sebenarnya
ayat-ayat tersebut bisa ditakwilkan[19],
sehingga tidak perlu meninggalkan ayat-ayat lain yang berlawanan dengan
ayat-ayat diatas.[20]
Kalau semua perbuatan manusia sudah diciptakan oleh Allah sebagaimana pendapat
golongan Jabariyah, maka hal ini berarti bahwa perbuatan manusia sejak masih di
dalam kandungan sampai ia meninggal sudah diciptakan oleh Allah, dan hal ini
juga menafikan keberadaan manusia yang berada dalam pengaruh ruang dan waktu.[21] Pendapat
golongan Jabariyah juga dibantah oleh Abduh. Bagi Abduh, adalah sesuatu yang
tidak logis kalau manusia menyatakan dirinya telah terikat oleh sesuatu hal.
Pada kenyataannya manusia dapat melakukan apa saja yang disukainya, jadi ia
senantiasa bebas.[22]
Golongan yang kedua yaitu golongan Qadariyah. Mereka
berpendapat bahwa manusia itu berkuasa menentukan segala macam perbuatannya dan
ia mempunyai kebebasan yang mutlak sekali.[23]
Manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan.
Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan oleh manusia daripada
dikatakan diciptakan oleh Tuhan, karena adanya alasan akal pikiran dan
alasan-alasan syara’. Alasan akal
pikiran yaitu kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sebagaimana
dikatakan golongan Jabariyah, maka apa perlunya taklif (perintah) kepada manusia.[24]
Alasan-alasan syara’ yaitu:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
(Q.S. Ar-Ra’d 13:11)
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong
baginya selain dari Allah” (Q.S. An-Nisa’ 4:123)
Masih ada ayat-ayat
lainnya yang menyatakan bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk. Ayat
tersebut lebih tegas menetapkan adanya perbuatan manusia, dan ia sendiri yang
bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bukan orang lain. Selain itu ada ayat
lain yang menegur orang-orang kafir karena mereka tidak mau iman, sedang mereka
sebenarnya bisa kalau mau, antara lain:[25]
فَمَا لَهُمْ عَنِ
التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ
Artinya: “Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan
(Allah)?” (Q.S. Al-Muddassir 74:49)
بَلِ
اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya: “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti
hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Q.S. Ar-Rum 30:29)
Lebih
jelas lagi ayat-ayat mempertalikan kemauan/kehendak kepada manusia, seperti:[26]
فَمَنْ شَاءَ
فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Q.S. Al-Kahfi 18:29)
Kalau
manusia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya
sebagaimana golongan Qadariyah, hal ini terkesan terbatas pada saat manusia
sudah dewasa (aqil, baligh) yang
sudah mampu dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Bagaimana
halnya dengan anak kecil atau masih dalam kandungan sekalipun, apakah ia tidak
memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya? Bahkan di dalam
realitasnya banyak anak kecil yang berbuat baik, dan banyak pula yang berbuat
jahat, yang semua ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan.[27]
C.
Makna
Takdir Allah
Segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Allah dan terkait dengan
takdir-Nya. Seperti firman Allah:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ
فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Artinya: “Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.S.Al-Furqan 25:2)
إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Q.S.Al-Qamar
54:49)
Segala
sesuatu di alam semesta yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Allah tidaklah berdiri
sendiri-sendiri, namun semuanya ada dalam bentuk “bagunan besar” alam semesta yang dalam istilah Marx disebut “super struktur”. Setiap bangunan yang
membangun bangunan besar alam semesta ini dibangun oleh unsur-unsur yang
membangunnya, begitu seterusnya sampai pada unsur-nsur terkecil yang begitu
banyak dan tidak terhitung, yang kesemuannya berelasi dan berjalin menjadi satu
membangun bangunan besar alam semesta. Ini berarti bahwa semua yang ada di alam
semesta ini saling berpengaruh satu sama yang lainnya.[28]
Pengetahuan kita tentang peristiwa-peristiwa yang biasa terjadi dapat dijadikan
perumpamaan yang lebih dekat. Seorang penjahat mengetahui secara yakin bahwa
kejahatan yang dilakukannya dengan ikhtiarnya sendiri terhadap Rajanya menyebabkan
tidak mustahil bisa dijatuhi hukuman.[29]
Sehingga dapat disimpulkan perbuatan jahat yang ia lakukan berpengaruh terhadap
hidupnya karena ia mendapatkan akibat dari perbuatannya.
Setiap
unsur di alam semesta ini tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling
mempengaruhi satu dengan lainnya, dan membentuk bangunan unsur yang lain, yang
berarti membentuk hukum yang lain pula.[30]
Masing- masing unsur tersebut memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Contohnya
yaitu:
a. Unsur
Hidrogen (H) memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri, unsur Oksigen (O)
juga memiliki hukum dan karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan Hidrogen.
Jika kedua unsur tersebut saling bergabung menjadi satu dimana jumlah unsur H
ada dua sedangkan O satu, maka 2H+O menjadi H2O (air). H2O
bukanlah H atau O tetapi gabungan dari keduanya.
b.
Jika satu Carbon (O) dan dua Oksigen (O2)
bergabung menjadi satu yaitu C+2O, maka menjadi CO2 (udara). CO2
bukanlah C atau O tetapi gabungan dari keduanya.[31]
Dengan
demikian takdir ibarat bangunan yang dibangun oleh unsur-unsur yang saling
berelasi membentuk takdir. Takdir akan selalu berubah selama setiap unsur terus
saling berpengaruh. Ini berarti bahwa didalam takdir ada causalitas dan proses, dan bahkan setiap proses itu sendiri adalah
hukum atau takdir. Karena begitu banyaknya hukum atau takdir Allah, maka takdir
dianggap sebagai rahasia Allah yang tidak bisa diketahui oleh manusia, dan
bahkan takdir Allah itu hanya bisa diketahui oleh manusia setelah mereka masuk
surga.[32]
Disamping
itu Abduh juga menyebut faktor lain yang menjadi penghalang, yaitu hukum alam.
Contoh yang diambilnya adalah gejala-gejala alam yang sering tidak mampu
dikendalikan oleh manusia semisal badai yang dahsyat atau petir yang ganas.
Akan tetapi sungguhpun merupakan kendala, hal itu sebenarnya bersifat
sementara. Artinya kalau manusia mempunyai ilmu pengetahuan maka gejala-gejala
alam dapat ditakhlukkan dan dengan demikian penghalang dari unsur alam dapat
dikurangi. Demikian seterusnya jika manusia makin menguasai sains, otomatis
akan memperbesar kemampuannya dalam menentukan langkah dan usaha sesuai yang
dikehendaki.[33]
Tidak
semua takdir atau hukum Allah tidak bisa diketahui oleh manusia. Akan tetapi
banyak takdir Allah yang bisa diketahui oleh manusia melalui berbagai
penelitian dan penemuan-penemuan ilmiah tentang alam semesta, baik dalam
fisika, kimia, biologi, astronomi, dan lainnya, yang ternyata setiap unsur di
alam semesta ini kesemuanya berjalan sesuai dengan hukum atau takdir Allah.
Sebagai contoh kenapa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah? Dan kenapa setiap benda jatuh ke bumi? Ternyata setelah mengalami
penelitian ilmiah diketahui bahwa bumi memiliki daya tarik terhadap benda-benda
yang kemudian disebut hukum “gravitasi”.[34]
Takdir
Allah terus berlanjut dan selalu ada pada setiap saat dan tempat, sejak mula
pertama kali Allah menciptakan hingga hari kiamat, yang dalam bahasa juga
disebut “azali”.[35]
Takdir Allah (pada saat Allah menciptakan qalam
atau pena), oleh sebagian besar ulama dipahami sebagai qadla dan bersifat global (ijmaly)
karena belum terealisasi dan belum memiliki pijakannya yaitu alam semesta.
Qadla baru direalisasikan secara rinci (tafshiliy)
ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan disebut “takdir”. Namun, secara
jelas yang dikehendaki Allah di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud adalah takdir dan bukan qadla yaitu dengan kata “تب
مقا ديركل شيء“. Dalam konteks ini takdir Allah bisa
dikatakan dan dipahami sebagai “program besar Allah” yang begitu rinci dan
detail yang berupa hukum-hukum bagi setiap unsur. Dengan demikian setiap unsur
terkecil di alam semesta ini memiliki hukum atau takdirnya masing-masing.[36]
Dari
pemahaman hadits di atas, maka dapat diketahui tiga hal, yaitu:
1.
Takdir Allah itu begitu rinci dan detail
(tafshiliy) bukan global (ijmaliy), dan melekat pada setiap unsur
terkecil di alam semesta.[37]
2. Takdir
yang di dalam hadits tersebut dipahami oleh para ulama sebagai qadla,
sebenarnya adalah takdir, dan keduanya tidak berbeda karena memiliki arti yang
sama yaitu “الحكم “ (hukum).[38]
3.
Takdir Allah selalu ada pada setiap saat
dan setiap tempat, terus berlanjut dan berjalan sejak awal penciptaan sampai
hari kiamat (لم يزل atau selalu).[39]
D. Konsep Takdir
Dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya
Manusia
Orang
yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindera)
yang sehat, mengakui dengan menyaksikan bahwa dirinya sendiri adalah maujud
(ada).[40] Manusia adalah bagian dari bangunan besar alam semesta
yang dibangun atas sekian banyak unsur terkecil yang saling berelasi membentuk
organ-organ, dan organ-organ berelasi membentuk tubuh manusia. Dalam konteks
ini, manusia dibangun oleh sekian banyak hukum atau takdir, yaitu unsur-unsur yang mempengaruhi dan membangun tubuhnya. Jika
demikian, takdir Allah mengenai umur manusia, rizqi, mati, bahagia, dan susahnya sudah ditetapkan atau ditakdirkan oleh
Allah, mestinya tidak dipahami sebagai sesuatu yang sudah pasti dan ada begitu
saja, akan tetapi harus dipahami sebagai “sesuatu yang adanya dibangun oleh
berbagai macam takdir yang saling berelasi dan mempengaruhi manusia”, membentuk
umur manusia, rizqi, mati, bahagia, dan susahnya.[41]
Takdir
Allah tentang umur dan mati misalnya, tidak benar bahwa setiap manusia telah
ditetapkan umurnya 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan seterusnya, sehingga pada saat manusia mencapai pada umur yang
ditetapkan manusia akan mati. Akan tetapi, manusia berada dalam ruang dan
waktu, dan berjalan sesuai takdir atau hukum Allah di alam semesta ini. Manusia memang tidak mengetahui
berapa umurnya dan kapan akan mati, tetapi manusia bisa mengusahakan agar
umurnya menjadi panjang dan tidak cepat mati, dengan cara mengikuti, menyesuaikan,
dan menyikapi berbagai hukum atau takdir Allah di alam semesta ini.
Manusia yang sehat akan cenderung panjang umur dan
tidak cepat mati sedangkan orang yang sakit akan
cenderung pendek umur dan cepat mati. Ini adalah hukum atau
takdir Allah. Masih banyak hal
yang mempengaruhi umur dan mati seperti kecelakaan, sakit, dibunuh, atau sudah tua sehingga organ-organ tubuhnya tidak bisa
berfungsi secara baik sehingga menyebabkan mati.[42]
Adapun pembahasan dibalik itu,
yakni bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan Ilmu Allah dan
Kemauan (Iradat-Nya) dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan ikhtiar
manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya.[43]
Konsep tentang kebebasan manusia tersebut sebenarnya ada kaitannya dengan
konsep keadilan Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat bahwa Allah
memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang maha adil, maka menurut Abduh, sifat
itu berarti permanen melekat pada Tuhan dan mustahil apabila sewaktu-waktu
Allah berbuat tidak adil.[44]
Yang menjadi persoalan adalah bahwa
“mati atau ajal” dianggap sebagai takdir Allah, sedangka peristiwa sebelum
manusia mati dianggap sebagai bukan takdir. Mati adalah takdir Allah, keadaan
sakit sebelum manusia mati juga takdir Allah, dan keadaan sehat sebelum manusia
sakit juga takdir Allah. Setiap detik keadaan manusia sebelum mati adalah
takdir yang dibangun oleh sekian banyak hukum atau takdir yang lain. Jadi
takdir “mati”nya manusia dibangun oleh berbagai macam faktor dan unsur dalam
kadar, ukuran, bentuk, dan keadaan yang bermacam-macam yang mempengaruhi
manusia. Jika faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhi manusia itu baik,
maka ia akan cenderung panjang umur, tetapi jika sebaliknya maka ia akan pendek
umurnya dan cepat mati.[45]
Demikian
halnya
dengan takdir rezeki, bahagia,
susahnya manusia dibangun oleh berbagai faktor dan unsur yang semuanya berjalan
mengikuti dan sesuai hukum Allah. Doa, silaturahmi, shadaqah, dan berbuat baik
merupakan bagian dari sekian banyak unsur yang membangun takdir tentang umur,
rezeki, mati, bahagia, susah manusia sehingga hal-hal tersebut bisa mengubah takdir.
Doa adalah bagian dari dzikir, dzikir menjadikan hati
manusia tenang.[46]
الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram” (Q.S.Ar-Ra’d 13:28)
Jika hati tenang, secara
psikis dia juga sehat. Dengan silaturahmi manusia bisa memecahkan berbagai
persoalan hidup
dan beban yang ada di dalam pikirannya, sehingga kalau manusia tidak banyak
pikiran atau stress, ia tidak akan mudah sakit. Disamping itu dengan
silaturahmi bisa terjalin relasi-relasi yang dalam konteks bisnis akan banyak mendatangkan
rezeki. Shadaqah menjadikan manusia tidak khawatir, tidak mudah
susah dan akan cenderung merasa aman dari lingkungannya.[47]
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا
أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S.Al-Baqarah 2:262)
Tema tentang manusia
dan kebebasannya juga menjadi salah satu bagian penting dalam sistem teologi
Muhammad Abduh. Manusia menurutnya adalah makhluk spesial karena ia dibebani taklif oleh Tuhan. Manusia juga dapat
disebut makhluk unik mengingat eksistensinya yang bisa menjadikannya berderajat
tertinggi tetapi sekaligus juga memungkinkannya jatuh pada derajat terendah.
Semua itu tergantung kearah mana ia memfungsikan daya dan potensinya yang telah
diciptakan Tuhan pada dirinya.[48]
Manusia dibangun oleh organ-organ yang begitu banyak
mulai dari hati, akal, pendengaran, penglihatan, jantung, paru-paru dan
lain-lainnya yang kesemuannya saling berelasi dan mempengaruhi takdir manusia.
Disamping itu manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya yang
kesemuannya memiliki hukum-hukum sesuai dengan takdir Allah. Saling pengaruh
antar unsur yang membangun manusia, baik yang ada di dalam tubuh manusia maupun
yang ada di luar tubuh manusia menimbulkan gerak. Gerak-gerak inilah yang
menimbukan perbuatan manusia.[49]
Manusia telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan
manusia itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang berbahaya, dengan kata lain
ada yang baik dan buruk. Mereka sepakat bahwa yang baik itu adalah apa yang
lebih kekal faedahnya sekalipun menimbulkan kesakitan dalam melakukannya, dan
yang buruk ialah barang yang merusak bagi kepentingan perseorangan maupun
kepentingan umum dan bagi siapa saja yang berhubungan dengannya sekalipun besar
sekali kelezatannya sekarang.[50]
Tuhan Maha Mengetahui atas apa yang dipilih dan diusahakannya
tetapi penglihatan Tuhan tidak dapat mencegah atau merintangi. Oleh karena itu,
manakala ia mengusahakan suatu amal kebajikan dan ternyata berhasil maka hal
itu semata-mata memang hasil keringatnya dan Tuhan akan membalas yang setimpal.
Sebaliknya jika ia berniat melakukan suatu kejahatan dan ternyata tetap ia
lakukan maka ia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu kelak.[51]
Perilaku atau perbuatan manusia merupakan cerminan dari apa yang ada di dalam
hatinya, dan hati merupakan kendali utama bagi perbuatan manusia. Hati manusia
mengetahui baik dan buruk.[52]
Seperti firman Allah:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya” (Q.S.Asy-Syams 91:8)
Jika
kebaikan mendominasi hati manusia maka ia akan berbuat baik, dan jika keburukan
mendominasi hatinya maka ia akan berbuat jahat. Dengan demikian, perbuatan
manusia bukan diciptakan oleh Tuhan dalam arti baik dan buruk, detik demi
detik, seperti pandangan golongan Jabariyah. Juga bukan diciptakan oleh manusia
sendiri dengan segala kemampuan hati dan akalnya, seperti pendapat Qadariyah.
Akan tetapi diciptakan dan dibentuk oleh saling pengaruh antar unsur yang
membangun manusia, dan oleh lingkungan.[53]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat
dipahami bahwa “takdir” adalah “hukum Allah”. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pada kekuatan, daya, potensi,
ukuran, dan batasan yang ada pada sesuatu yang ditetapkan hukumnya.
Takdir
Allah memiliki arti yang sama dengan qadla yaitu “hukum” yang bersifat rinci.
Ini berarti bahwa takdir Allah bersifat rinci dan detail (tafshiliy) bukan global (ijmaliy),
juga tidak bertingkat-tingkat seperti azali,
tsanawi atau hauli, ‘umri, yaumi,
dan ilmi, kitabi atau kitabah, musyiah dan khalqi, akan tetapi terus berlangsung
dan berlanjut setiap saat di setiap tempat atau azali (لم
يزل ).
Semua takdir Allah diketahui, ditulis, dikehendaki, dan dicipta oleh Allah
dalam bentuk “Program Besar Allah”. Semua hal di alam semesta ini berjalan
sesuai dengan hukum-hukum Allah. Hubungan
antara takdir dengan sumber daya manusia yaitu takdir manusia baik umur, ajal, rezeki, susah, bahagia,
dan perbuatannya sangat dipengaruhi, ditentukan, dan dibangun oleh begitu banyak hukum atau takdir yang
ada di alam semesta, yang setiap sesuatunya mempengaruhi takdir manusia. Setiap
keadaan manusia adalah takdir yang dibentuk oleh takdir-takdir yang lain. Sehingga manusia harus terus menggali potensi yang di miliki
dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
B.
SARAN
Allah telah menentukkan takdir manusia namun kita tidak
boleh pasrah, kita harus terus berusaha melakukan yang terbaik dan memperbanyak
doa, dan
untuk hasilnya
kita serahkan kepada Allah.
Agar kita memiliki keimanan
yang benar terhadap takdir Allah Swt, kita hendaknya perlu meyakini adanya qadla
dan qadar terhadap diri kita dan makhluk-Nya, bertawakal dalam menjalani hidup
di dunia ini dengan berikhtiar dan berdoa, bersabar saat tertimpa musibah dan
bersyukur apabila diberi kenikmatan, serta berbaik sangka terhadap semua peristiwa
yang terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid Terj Firdaus.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Akademik, Pokja. Tauhid. Yogyakarta: Pokja Akademik,
2005.
Aziz, Ahmad Amir. Pembaharuan Teologi: Perspektif
Modernism Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman . Yogyakarta:
Teras, 2009.
Chirzin, Muhammad. Konsep dan Hikmah Akidah Islam.
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.
Gullen, Fethullah. Qadar. Jakarta: PT Gramedia, 2011.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam) Cet XII.
Jakarta: Pustaka al-Husna, 2001.
[1]
Muhammad Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 1997), hlm.105
[3] Fethullah Gullen, Qadar (Jakarta: PT Gramedia, 2011),
hlm.18
[4] Ibid., hlm.4
[10]
Berdasarkan waktu
terjadinya, takdir dibagi menjadi: 1. Takdir
Azali, yang meliputi segala sesuatu sebelum Allah menciptakan bumi dan
langit, yaitu takdir Allah setelah menciptakan Qolam. 2. Takdir Tsanawi atau Hauli,
yang terkait dengan malam lailatul Qodar, yaitu takdir Allah yang ditetapkan
setiap tahun pada malam lailatul Qodar. 3.
Takdir ‘Umri, yang meliputi segala yang terkait dengan manusia seperti
umur, rizki, bahagia, susah, dan mati, yaitu takdir ketika Allah menciptakan
manusia dalam rahim. 4. Takdir Yaumi,
yaitu takdir Allah setiap hari yang terkait dengan semua peristiwa. Berdasarkan
urutan ketetapannya menjadi 1. Ilmi,
yaitu takdir yang terkait dengan ilmu Allah Yang Maha Mengetahui apa yang
terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. 2. Takdir Kitabi atau Kitabah,
yaitu takdir Allah terhadap segala sesuatu yang tertulis di Lauhil Mahfudz. 3. Musyiah, yaitu takdir Allah yang
terkait dengan segala sesuatu yang terjadi di langit dan bumi, yang semuanya
terjadi atas kehendak-Nya. 4. Halqi,
yaitu takdir Allah yang terkait dengan kekuasaan-Nya untuk menciptakan segala
sesuatu. (Ibid., hlm.42)
[12]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi: Perspektif Modernism
Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman (Yogyakarta: Teras, 2009),
hlm.47
[14] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.47
[16] Pada umumnya, para ulama
membedakan antara qadla dan qadar. Qadla sebagai ketetapan Allah sejak zaman
azali dan bersifat global atau ijmaliy,
sedangkan qadar sebagai realisasi dari ketetapan Allah sesuai kehendaknya dan
bersifat rinci (tafshiliy). Qadar
mengikuti qadla, qadla berada pada
posisi asas atau al asas, sedangkan qadar berada pada posisi bangunannya
atau al bina’, tetapi ada pula ulama
yang menganggap sama antara qadla dan qadar dan tidak membedakan antara qadla dan qadar. (Pokja Akademik, Tauhid,… hlm.42)
[17] Dalam sejarah perkembangan Agama
dan filsafat Barat, faham aliran Jabariyah dan Qadariyah ini muncul dengan
istilah-istilah: Determinis (serba
takdir) dan indeterminisme (serba
ikhtiar). (Syekh
Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid Terj Firdaus AN (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm.93
[19]
Ta’wil adalah mengalihkan
makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang
dapat diterima oleh akal dan didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih
kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.
[22]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.48
[23]
Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.93
[29]
Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.97
[33]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.50
[35]
Azali berasal dari kata ” لم يزل” yang kemudian dihilangkan “لم “ nya menjadi “يزل “, kemudian “ي
“nya diganti dengan “أ “ menjadi “أزل “ yang berarti “selalu”. (Ibid.,hlm.51)
[38]
Ibid.
[39]
Ibid.
[40]
Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.91
[43]
Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.93
[44]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.48
[47]
Ibid.
[48]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.46
[50]
Syekh Muhammmad Abduh, Risalah Tauhid,…hlm.109
[51]
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi…, hlm.51
[53]
Ibid.

